Beranda | Artikel
Hukum Sujud Sajdah Atau Tilawah
Sabtu, 30 Oktober 2021

HUKUM SUJUD SAJDAH ATAU TILAWAH

Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi, Lc

Ulama ahli fiqih sepakat bahwa sujud Tilâwah itu masyrû’iyah (disyari’atkan) berdasarkan dalil al-Qur’an dan al-hadits, akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang hukumnya, apakah sunnah atau wajib?

Untuk mengetahui hukumnya tentu perlu melihat kepada orang yang disyariatkan melakukannya. Sujud Tilâwah ini berkenaan dengan orang yang membaca atau mendengar dengan penuh perhatian seperti makmûm dalam shalat atau yang hanya mendengarnya saja.

Oleh karena itu perlu dibagi dalam tiga pembahasan:

1. Hukum Sujud Tilâwah Bagi Yang Membaca Ayat Sajdah
Dalam masalah ini para Ulama berselisih dalam tiga pendapat.
Pendapat Pertama : Sujud Tilâwah hukumnya wajib bagi orang yang membaca ayat sajdah dalam shalat maupun diluar shalat. Inilah pendapat madzhab Hanafiyah[1], sebuah riwayat dari Ahmad[2] dan dirajihkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.[3]

Diantara dasar argumentasi mereka adalah:
1. Firman Allâh Azza wa Jalla :

فَمَا لَهُمْ لَا يُؤْمِنُوْنَۙ وَاِذَا قُرِئَ عَلَيْهِمُ الْقُرْاٰنُ لَا يَسْجُدُوْنَ

Mengapa mereka tidak mau beriman? Dan apabila al-Qur’ân dibacakan kepada mereka, mereka tidak bersujud  [Al-Insyiqâq/84 : 20-21]

Mereka menyatakan bahwa Allâh Azza wa Jalla mencela mereka yang tidak sujud dan celaan itu tidak dibenarkan kecuali karena meninggalkan hal yang wajib[4].

Namun, dalil ini tidak kuat karena :

  • Celaan di atas akibat dari meninggalkan shalat atau
  • Ayat ini berkenaan dengan celaan terhadap orang-orang kafir yang tidak mau sujud karena sombong. Hal terbukti dengan adanya ancaman hukuman setelahnya yang tidak pas bila dikenakan pada orang yang meninggalkan sujud Tilâwah[5].
  • Pengertian dari ayat yang artinya “tidak bersujud” itu adalah mereka tidak meyakini keutamaan sujud bahkan mereka tidak yakin sujud itu disyari’atkan, oleh karena itu Allâh Azza wa Jalla melanjutkan firman-Nya:

بَلِ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا يُكَذِّبُوْنَۖ

Bahkan orang-orang kafir itu mendustakan(nya). [Al-Insyiqâq/84:22][6].

2. Firman Allâh Azza wa Jalla :

فَاسْجُدُوْا لِلّٰهِ وَاعْبُدُوْا  

Maka bersujudlah kepada Allâh dan beribadahlah (kepada-Nya) [An-Najm/53 :62]

Juga firman-Nya:

كَلَّاۗ لَا تُطِعْهُ وَاسْجُدْ وَاقْتَرِبْ

Sekali-kali jangan, janganlah kamu patuh kepadanya; dan sujudlah dan dekatkanlah (dirimu kepada Rabb). [Al-‘Alaq/96:19].

Semua perintah sujud di atas disampaikan dengan menggunakan kata kerja bentuk amr (perintah) dan kata kerja bentuk amr menunjukkan hokum wajib.

Dalil inipun terbantah dari dua sisi:

  1. Yang dimaksud dengan sujud dalam ayat-ayat ini adalah sujud dalam shalat[7].
  2. Seandainya perintah sujud tersebut bersifat wajib ketika membaca ayat sajdah, maka mesti perintah tersebut dibawa pengertiannya kepada sunnah karena terkadang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkannya[8].

3. Firman Allâh Azza wa Jalla :

اِنَّمَا يُؤْمِنُ بِاٰيٰتِنَا الَّذِيْنَ اِذَا ذُكِّرُوْا بِهَا خَرُّوْا سُجَّدًا وَّسَبَّحُوْا بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَهُمْ لَا يَسْتَكْبِرُوْنَ

Sesungguhnya orang yang benar-benar percaya kepada ayat-ayat Kami yaitu mereka yang apabila diperingatkan dengan ayat-ayat itu mereka segera bersujud seraya bertasbih dan memuji Rabbnya, dan lagi pula mereka tidaklah sombong.[As-Sajdah/32 :15]

Secara Tekstual ayat ini menunjukkan bahwa seseorang tidak dianggap beriman terhadap ayat-ayat Allâh kecuali apabila disebutkan ayat-ayat tersebut segera ia bersujud dan bertasbih memuji Allâh Azza wa Jalla dan lagi pula tidak sombong[9].

Konsekuensi dari argumentasi ini adalah semua yang beriman berkewajiban untuk sujud ketika dibacakan semua ayat-ayat Allâh dan ini tentunya tidak ada seorangpun yang berpendapat demikian. Dengan demikian argumentasi ini tidak dapat diterima.

4. Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا قَرَأَ ابْنُ آدَمَ السَّجْدَةَ فَسَجَدَ، اعْتَزَلَ الشَّيْطَانُ يَبْكِي، يَقُولُ: يَا وَيْلَهُ! أُمِرَ ابْنُ آدَمَ بِالسُّجُودِ فَسَجَدَ، فَلَهُ الْجَنَّةُ، وَأُمِرْتُ بِالسُّجُودِ، فَأَبَيْتُ، فَلِي النَّارُ

apabila bani Adam (manusia) membaca ayat sajdah, lalu sujud, maka syaitan menyingkir dan menangis seraya berkata, “Celaka! Bani Adam diperintahkan untuk sujud lalu sujud maka dia berhak mendapatkan syurga sementara aku diperintahkan sujud lalu aku enggan maka aku mendapatkan neraka. [HR. Imam Muslim dalam Shahîhnya no. 133 (1/87)].

Hukum wajib melakukan sujud tilâwah diambil dari dua sisi:

  • Pada lafazh (أُمِرَ ابْنُ آدَمَ) dan perintah untuk wajib.
  • Sujud disini adalah ibadah, karena sujud yang diperintahkan kepada syaitan dahulu adalah wajib maka yang inipun sama.

5. Seandainya sujud tersebut tidak wajib tentu tidak boleh dilakukan dalam shalat, karena itu adalah menambah sujud dengan sengaja.
6. Karena sujud tersebut dilakukan dalam shalat maka menjadi wajib seperti sujud shalat yang ada.

Pendapat kedua : Sujud Tilâwah diwajibkan dalam shalat dan sunnah diluar shalat. Inilah salah satu riwayat dari Ahmad bin Hambal[10].

Mereka berarguentasi dengan perbuatan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang melakukan sujud Tilâwah dalam shalat dan adanya beberapa hadits yang menunjukkan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam terkadang meninggalkannya di luar shalat.

Pendapat ketiga : Hukumnya sunnah dalam shalat dan diluar shalat. Inilah pendapat madzhab Mâlikiyah[11], Asy-Syafi’iyah[12]. Hambaliyah[13] dan Zhâhiriyah[14]. juga pendapat al-Laits bin Sa’ad, al-Auza’i [15], Ishâq dan Abu Tsaur[16].

Argumentasi mereka berdasarkan dalil-dalil berikut:
1. Hadits Zaid bin Tsabit Radhiyallahu anhu, beliau berkata:

قَرَأْتُ عَلَى اَلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَلنَّجْمَ , فَلَمْ يَسْجُدْ فِيهَا

Aku membacakan surat an-Najm kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu Beliau tidak sujud padanya. (HR al-Bukhari dan Muslim).

Seandainya sujud tersebut wajib, tentu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersujud dan memerintahkan Zaid bin Tsâbit Radhiyallahu anhu untuk bersujud, sehingga al-Hâfizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak sujud untuk menjelaskan kebolehannya[17]

2. Diriwayatkan bahwa ada seorang yang membaca ayat sajdah didekat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu sujud dan membacanya dilain waktu dan tidak sujud. Maka Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

كُنْتَ إِمَامُنَا، فَلَوْ سَجَدْتَ سَجَدْنَا

Kamu adalah imam kami, seandainya kamu sujud maka kamipun sujud. [HR. Asy-Syafi’i dalam al-Musnad 1/122 dan al-Baihaqi 2/324].

Disini Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkannya bersujud dan membenarkan perbuatan orang tersebut yang tidak sujud.

Namun hadits ini lemah. Dinilai lemah oleh al-Baihaqi rahimahullah dan yang shahih adalah dari jalan periwayatan Atha bin Yasaar rahimahullah secara mursal. al-Hâfizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata bahwa perawinya tsiqât (terpercaya) kecuali haditsnya mursal[18]

3. Sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada A’rabi ketika bertanya kepada Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang shalat apa saja yang diwajibkan kepadanya:

خَمْسُ صَلَوَاتٍ فِي الْيَوْمِ وَاللَّيْلَةِ فَقَالَ هَلْ عَلَيَّ غَيْرُهَا قَالَ لَا إِلَّا أَنْ تَطَوَّعَ

Shalat lima waktu dalam sehari semalam, lalu Ia bertanya: Apakah ada selain itu yang diwajibkan atasku? maka beliau menjawab: Tidak ada, kecuali bila kamu ingin tatawwu’ (shalat sunnah). [HR. Al-Bukhari].

4. Imam al-Bukhari meriwayatkan atsar dari Umar Radhiyallahu anhu.

أن عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَرَأَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ عَلَى الْمِنْبَرِ بِسُورَةِ النَّحْلِ حَتَّى إِذَا جَاءَ السَّجْدَةَ نَزَلَ فَسَجَدَ وَسَجَدَ النَّاسُ حَتَّى إِذَا كَانَتْ الْجُمُعَةُ الْقَابِلَةُ قَرَأَ بِهَا حَتَّى إِذَا جَاءَ السَّجْدَةَ قَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا نَمُرُّ بِالسُّجُودِ فَمَنْ سَجَدَ فَقَدْ أَصَابَ وَمَنْ لَمْ يَسْجُدْ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ وَلَمْ يَسْجُدْ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ

sesungguhnya Umar bin al-Khathab Radhiyallahu anhu pada hari Jum’at membaca surat an-Nahl di atas mimbar hingga apabila sampai pada ayat sajdah, beliau turun lalu sujud dan kaum Muslimin ikut sujud, hingga pada hari Jum’at berikutnya, beliau membaca surat tersebut hingga sampai ayat sajdah, beliau Radhiyallahu anhu berkata: Wahai kaum Muslimin, sungguh kita diperintahkan sujud. Barangsiapa yang sujud maka ia telah menjalankan sunnah sedangkan orang yang tidak sujud maka ia tidak berdosa. Umar Radhiyallahu anhu pun tidak bersujud. [Shahîh al-Bukhâri 2/43].

Imam Nâfi’ menambahkan dari Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma bahwa Umar bin al-Khathab Radhiyallahu anhu berkata:

إِنَّ اللَّهَ لَمْ يَفْرِضِ السُّجُودَ إِلَّا أَنْ نَشَاءَ

Sesungguhnya Allâh tidak mewajibkan sujud kecuali kita menginginkannya.

Ini adalah perbuatan dan pernyataan Khalifah Umar bin al-Khathab Radhiyallahu anhu di atas mimbar dan di khalayak ramai dan tidak ada yang membantah. Ini menunjukkan kesepakatan mereka tentang tidak wajibnya sujud Tilâwah.

5. Hukum asalnya adalah tidak wajib sampai ada dalil yang shahih lagi gamblang dalam perintahnya dengan tanpa ada penentangnya. Dalam masalah ini tidak ada hal tersebut sehingga kembali kepada hukum asal.
6. Menganalogikannya dengan sujud syukur.

Pendapat yang rajih.
Dari pendapat yang ada dalam masalah ini, tampaknya yang rajih menurut penulis adalah pendapat ketiga yang menyatakan bahwa sujud Tilâwah tidak wajib, karena dasar argumentasi mereka kuat dan dalil-dalil mereka shah. Wallahu a’lam.

2. Hukum Sujud Tilâwah Bagi Yang Mendengarkan dengan baik (al-Mustami’) Ayat Sajdah.
Dalam masalah ini para Ulama berbeda pendapat dalam dua pendapat.
Pendapat pertama, pendapat yang menganggap sujud Tilâwah wajib. Ini pendapat madzhab Hanafiyah[19], satu riwayat dari Imam Ahmad[20] dan dirajihkan oleh Ibnu Taimiyah[21].

Pendapat ini berdalil dengan dalil-dalil yang telah disebutkan pada pembahasan tentang hukum sujud Tilâwah bagi orang yang membaca ayat sajdah.

Pendapat kedua, pendapat yang memandang hukumnya sunnah. Ini adalah pendapat madzhab Mâlikiyah[22], madzhab Syâfi’iyah[23], madzhab Hanabilah[24]. dan Ibnu Hazm[25]

Pengikut pendapat ini berdalil dengan dalil-dalil yang dipergunakan oleh mereka yang berpegang dengan pendapat yang menyatakan bahwa sujud Tilâwah tidak wajib bagi orang sedang membaca ayat sajdah.

Pendapat yang rajih
Yang rajih -insya Allâh- adalah pendapat kedua yang menyatakan hukumnya sunnah karena argumentasi mereka begitu kuat.

3. Hukum Sujud Tilâwah Bagi Yang Mendengar Tanpa Perhatian Khusus (as-Sâmi’)
Dalam masalah ini terdapat empat pendapat para Ulama:
Pendapat pertama, hukumnya adalah wajib. Ini pendapat madzhab Hanafiyah[26]

Mereka berargumentasi dengan dalil-dalil yang mewajibkan sujud bagi orang yang sengaja fokus mendegarkan dengan baik dan penuh perhatian. Mereka menyatakan bahwa semua dalil ini mutlak tanpa ada ketentuan sengaja mendengarkan dengan baik dan penuh perhatian atau tidak. Berdasarkan ini, orang yang mendengarkannya tanpa sengaja sama hukumnya dengan mereka yang menyengaja.

Ini juga dikuatkan dengan pernyatan sahabat Abdullah bin Umar Radhiyallahu anhuma, “Sujud wajib bagi yang mendengartkannya.”[27]

Pendapat kedua, hukumnya sunnah. Ini adalah pendapat madzhab Syâfi’iyah[28], Hanabilah dalam salah satu pendapatnya[29] dan Ibnu Qudâmah menceritakannya dari Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma , an-Nakhâ’i, Sa’id bin Jubeir, Nâfi’ dan Ishâq[30].

Mereka berargumentasi dengan dalil yang digunakan untuk menetapkan hukum sunnah bagi orang yang sengaja fokus untuk mendengarkannya. Mereka menyatakan bahwa yang mendengar ayat sajdah sama hukumnya dengan yang sengaja untuk mendengar dan memperhatikannya.

Pendapat ketiga, hukumnya mustahab (sunnah), namun tidak terlalu ditekankan sebagaimana penekanan terhadap orang yang sengaja mendengarkan (al-mustami’). Inilah salah satu pendapat dalam madzhab Syâfi’iyah[31]

Pendapat keempat, Hukumnya tidak disyariatkan. Ini pendapat madzhab Mâlikiyah[32], salah satu pendapat Syâfi’iyah[33]  dan Madzhab Hanabilah[34]

Diantara dasar argumentasi pendapat ini adalah:
1. Atsar dari Utsmân bin Affân Radhiyallahu anhu :

عَنِ ابْنِ الْمُسَيَّبِ أَنَّ عُثْمَانَ مَرَّ بِقَاصٍ فَقَرَأَ سَجْدَةً لِيَسْجُدَ مَعَهُ عُثْمَانُ فَقَالَ عُثْمَانُ إِنَّمَا السَّجْدَةُ عَلَى مَنْ اسْتَمَعَ ثُمَّ مَضَي

Dari Said bin Musayyib rahimahullah bahwa Utsmân Radhiyallahu anhu melewati seorang tukang cerita, lalu tukang cerita tersebut membaca ayat sajdah agar Utsmân Radhiyallahu anhu melakukan sujud Tilâwah bersamanya. Maka Utsman pun berkata, “Sujud tersebut disyariatkan pada orang yang sengaja mendengarkannya.” Kemudian beliau pergi[35]

2. Atsar Imrân bin Hushain Radhiyallahu anhu.:

عَنْ مُطَّرِفِ بْنِ عَبْدِ اللهِ أَنَّ عِمْرَانَ بْنَ الْحُصَيِّنِ مَرَّ بِقَاصٍ فَقَرَأَ سَجْدَةً فَمَضَى عِمْرَانُ وَلَمْ يَسْجُدْ مَعَهُ وَقَالَ إِنَّمَا السَّجْدَةُ عَلَى مَنْ جَلَسَ لَهَا

Dari Muththarif bin Abdillah rahimahullah bahwasanya Imron bin al-Hushain Radhiyallahu anhu melewati seorang tukang cerita lalu dia membaca ayat sajdah, namun Imrân tetap berlalu dan tidak sujud dan berkata, “Sujud itu hanya untuk orang yang duduk mendengarkannya.” [HR Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf].

Atsar-atsar ini semua masih di selisihi oleh atsar yang lainnya, sehingga tidak bisa dijadikan hujjah.

3. Karena orang yang tidak sengaja mendengarkannya tidak mendapatkan pahala yang sama dengan orang yang membacanya, sehingga tidak sujud.

Pendapat yang rajih
Tampaknya yang rajih adalah pendapat kedua yang menyatakan hukumnya sunnah pada orang yang tidak sengaja mendengarkannya seperti juga hukumnya bagi orang yang sengaja mendengarkannya, karena dalil dan argumentasi mereka kuat. Wallâhu a’lam.

Demikian hukum sujud Tilâwah untuk yang membaca dan mendengarkannya. semoga bermanfaat.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun XVIII/1436H/2014M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Lihat Badâ’i ash-Shana’i’ 1/180
[2] Lihat al-Inshâf 2/193
[3] Lihat Majmû’ al-Fatâwâ 23/139
[4] Lihat dalam Majmû’ al-Fatâwâ 23/127 dan al-Mughni 2/365
[5] Lihat al-Majmû’ Syarhul Muhadzdzab 4/26 dan al-Mughni 2/366
[6] Lihat al-Mughni 2/366
[7] Lihat al-Majmû’ 4/64
[8] Lihat al-Mughni 2/366
[9] Lihat al-Majmû’ 4/61
[10] Lihat Majmû’ al-Fatâwâ 23/139
[11] Lihat Bidâyat al-Mujtahid 1/161
[12] Lihat al-Majmû’ 4/61
[13] Lihat al-Mughni 2/346
[14] Lihat al-Muhalla 5/106
[15] Lihat al-Mughni 3/364
[16] Lihat al-Majmû’ 4/61
[17] Fathul Bâri 2/555
[18] Fathul Bâri 2/556
[19] Lihat Badâ’i ash-Shanâ’i 1/78
[20] Lihat al-Inshâf 2/193
[21] Lihat Majmû’ al-Fatâwâ 23/139-140
[22] Lihat al-Muntaqa 1/352
[23] Lihat al-Majmû’ 4/85
[24] Lihat al-Mughni 2/366
[25] al-Muhalla 5/157
[26] Lihat Badâ’i ash-Shanâ’i 1/180
[27] Atsar riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf 2/5
[28] Lihat al-Majmû’ 4/58
[29] Lihat al-Mubdi’ 2/29
[30] al-Mughni 2/366
[31]  Lihat al-Majmû’ 4/58
[32]  Lihat al-Mudâwanah 1/111
[33] Lihat al-Majmû’ 4/58
[34] Lihat al-Mughni 2/366
[35] Al-Ausath 5/281


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/43552-hukum-sujud-sajdah-atau-tilawah-2.html